“Hutan
lindung di Indonesia diibaratkan sebagai seorang anak yang buruk rupa. Sehingga
orang tuanya sendiri tidak mau mengakuinya dan tidak ada orang lain yang mau
mengadopsinya.”
Tersentak sejenak saya setelah mengetahui
kalimat tersebut secara tidak sengaja membaca pengantar dari sebuah laporan
penelitian Kementerian Kehutanan tahun 2012 tentang kebijakan pengelolaan hutan
lindung di Indonesia. Ternyata ada sentilan yang sangat tidak enak didengar,
miris.. sangat tajam bagi kita jika merasa bagian dari pemerhati lingkungan. Mungkin
hanya sebuah kiasan biasa, tapi tahukah Anda apa maksud kiasan tersebut?
Tiba-tiba saja saya tertuju dengan
Sindoro yang dikerumuni karpet hijau, terhampar di segala penjuru lereng. Kabut
tipis tiap pagi menyelimuti hamparan jamrud dengan gemercik air jernih melintas
di antaranya. Sungguh eksotis tapi semua itu hanya bayangan saya saja, taulah
Anda seperti apa wajah sebagian sindoro terutama bagian sisi lereng timur yang
ada. Terlintas saya dengan istilah si ‘buruk rupa’ itu, apakah mungkin sebagian
petak hutan yang hilang akibat dari ibarat ‘buruk rupa ?
Sindoro merupakan salah satu bentuk volkanisme
yang dimiliki Kabupaten Temanggung dengan menyimpan potensi sumberdaya alam melimpah
serta berperan penting dalam kelestarian di bawahnya. Merunut arahan pemanfaatan
ruang yang tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung Tahun
2011-2031, Sindoro memiliki salah satu fungsi sebagai kawasan lindung yang
terzonasi secara administrasi mencakup Kecamatan Bulu, Parakan, Kledung,
Bansari, Ngadirejo dan Candiroto. Kawasan lindung merupakan kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU RI No. 26 tahun 2007). Telah
dikethui bahwa kawasan ini sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan dengan pemanfaatan ruang sebagai kawasan hutan lindung,
penentuan pengelolaan hingga pengendalian yang harus dilakukan oleh mereka yang
ikut dalam bagian kebijakan pemerintah daerah Temanggung.
Peraturan daerah sebagai landasan
pengelolaan hutan lindung merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi sebagai
wujud tindakan dengan kewenangan yang diserahkan pada instituisi yang lebih
bawah. Hal ini merupakan salah satu pembagian kewenangan yang sangat penting
dalan sentralisasi untuk pengelolaan dalam pembangunan wilayah yang lebih
terfokus. Pembagian urusan pemerintahan di bidang kehutanaan terdapat lampiran
z dari PP 38 Tahun 2007 (Ekawati, S dkk) yang menyebutkan bahwa pengelolaan
hutan lindung didesentralisasikan kepada pemerintah kabupaten yang meliputi
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian
perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam lampiran CITES dan pemanfaatan jasa
lingkungan skala kabupaten. Jelaslah, dari peraturan tersebut produk dari gunung
Sindoro harusnya sempurna secara maksimal. Bukanlah ingin memberikan penilaian
buruk, tapi kenapa dari segala peraturan maupun kebijakan yang ada tetap saja
Sindoro tetap “buruk rupa”?
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh
Kementerian Kehutanan tahun 2012 diketahui bahwa kinerja desentralisasi
pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari kondisi fisik hutan lindung yang ada
di kabupaten tersebut. Saya tidak akan cerita bagaimana kondisi yang ada di
lereng timur sindoro, akan jelas jika Anda menyempatkan diri berkunjung kesana.
Deforestasi yang terjadi di kawasan hutan lindung mengindikasikan bahwa
kebijkan desentrasilasi pengelolaan hutan lindung belum efektif (ekawati, dkk,
2012). Mungkin salah satu contoh realnya yang terjadi pada sisi timur lereng
Gunung Sindoro. Apakah benar dan mungkin karena kegagalan dari sebuah
kebijakan?
Ada yang mengatakan bahwa hutan lindung merupakan
sebuah barang yang bersifat publik dan privat sehingga bisa dikatakan sumber
daya milik bersama, atau lebih dikenal dengan istilah common pool resources. Istilah ini memiliki pengertian bahwa adanya
kesempatan pada masyarakat untuk bebas memanfaatkan dan mngelola sumberdaya
hutan sesuai dengan kepentingan. Hal ini dapat memberikan dua pilihan pada kita
apakah akan memanfaatkan dan mngelola secara arif dengan pranata-pranata sesuai
budayanya atau dengan tanpa mempedulikan pertimbangan aspek ekologis tertentu.
Suatu
waktu ketika saya mendapatkan sebuah materi tentang evaluasi DAS, sempat memahami
bahwa pengelolalaan sumber daya alam maupun lingkungan saat ini bukan
berdasarkan batas wilayah ekosistem. Suatu pengelolaan dengan implementasi yang
dapat memberikan kebijakan saling terkait antar daerah di dalamnya. Sehingga
antar daerah secara langsung dapat merasakan hasil dan manfaatnya. Hal ini
membuat perbedaan kebijakan menghasilkan produk ekosistem yang berbeda pula,
padahal wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Tentunya siklus kehidupan
didalamnya secara langsung pun berbeda pula. Karakteristik hutan lindung yang seperti itu
menyebabkan pemanfaatan barang dan jasa hutan di suatu kabupaten tidak
menghalangi kabupaten lain untuk juga turut merasakan manfaatnya, sebaliknya
kabupaten lain juga bisa terkena eksternalitas negatif dari pengelolaan hutan
lindung. Kondisi seperti itu, menurut Kartodihardjo (2006), menimbulkan
interdependensi atau ketergantungan antar daerah.
Jika
kita kembali lagi dengan kondisi lereng Sindoro yang dinyatakan sebagai hulunya
salah satu DAS besar di Pulau Jawa mengalami kerusakan tentunya dampak yang
dihasilkan akan dirasakan oleh semua sub-daerah aliran sungai yang masih dalah
satu kesatuan DAS Progo. Sebagai informasi diketahui bahwa Pengerusakan
hutan menyumbang 20% dari emisi gas rumah kaca setiap tahun (www.greenpeace.org). Ketika mereka
dikeringkan dan dibakar akan menjadi sebuah bom karbon, melepaskan hampir dua
milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahun. Kita membutuhkan hutan dengan
luasan besar untuk 'meredam' dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi
yang terjadi kita melakukan sebaliknya. Kita Menghancurkan Hutan.
Jujur saja, saya sendiri bukanlah bagian
dari si pembuat kebijakan yang telah dibuat sedemikian banyaknya itu dan tidak
tau persis bagaimana kebijakan tersebut diaplikasikan serta bagaimana implementasinya
yang sesungguhnya. Bukan ingin teriak ini itu tanpa ada perbuatan, saya hanya
ingin mengajak kepada teman-teman yang berkecimpung secara langsung di tubuh
Gunung Sindoro agar selalu mengindahkan kelestarian lingkungan Sindoro saat
melakukaan pengolahan maupun pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya. Mungkin
ini tidak memberikan efek secara langsung tetapi dengan tangan – tangan kecil
kita yang bersatu akan memberikan dampak yang besar.
Both ENDS and Gomukh, 2005,
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai “Sebuah Pendekatan Negoisasi”, diterjemahkan
Soelistyowati, H dan Hardono, H, 2008, INSISTPress, Yogyakarta.
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Temanggung Tahun 2011-2031.Sulistya Ekawati, dkk, 2012,
Analisis Diskursus
dan Implikasinya Bagi Perbaikan Kebijakan, Kementerian Kehutanan, Jakarta.