.
‘Mengupas segala realita sisi geografis dari lereng Sindoro’

landscape

landscape

Jumat, 24 Januari 2014

CURHAT SESAAT

“Hutan lindung di Indonesia diibaratkan sebagai seorang anak yang buruk rupa. Sehingga orang tuanya sendiri tidak mau mengakuinya dan tidak ada orang lain yang mau mengadopsinya.”
Tersentak sejenak saya setelah mengetahui kalimat tersebut secara tidak sengaja membaca pengantar dari sebuah laporan penelitian Kementerian Kehutanan tahun 2012 tentang kebijakan pengelolaan hutan lindung di Indonesia. Ternyata ada sentilan yang sangat tidak enak didengar, miris.. sangat tajam bagi kita jika merasa bagian dari pemerhati lingkungan. Mungkin hanya sebuah kiasan biasa, tapi tahukah Anda apa maksud kiasan tersebut?
Tiba-tiba saja saya tertuju dengan Sindoro yang dikerumuni karpet hijau, terhampar di segala penjuru lereng. Kabut tipis tiap pagi menyelimuti hamparan jamrud dengan gemercik air jernih melintas di antaranya. Sungguh eksotis tapi semua itu hanya bayangan saya saja, taulah Anda seperti apa wajah sebagian sindoro terutama bagian sisi lereng timur yang ada. Terlintas saya dengan istilah si ‘buruk rupa’ itu, apakah mungkin sebagian petak hutan yang hilang akibat dari ibarat ‘buruk rupa ?
Sindoro merupakan salah satu bentuk volkanisme yang dimiliki Kabupaten Temanggung dengan menyimpan potensi sumberdaya alam melimpah serta berperan penting dalam kelestarian di bawahnya. Merunut arahan pemanfaatan ruang yang tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung Tahun 2011-2031, Sindoro memiliki salah satu fungsi sebagai kawasan lindung yang terzonasi secara administrasi mencakup Kecamatan Bulu, Parakan, Kledung, Bansari, Ngadirejo dan Candiroto. Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU RI No. 26 tahun 2007). Telah dikethui bahwa kawasan ini sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan dengan pemanfaatan ruang sebagai kawasan hutan lindung, penentuan pengelolaan hingga pengendalian yang harus dilakukan oleh mereka yang ikut dalam bagian kebijakan pemerintah daerah Temanggung.


Peraturan daerah sebagai landasan pengelolaan hutan lindung merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi sebagai wujud tindakan dengan kewenangan yang diserahkan pada instituisi yang lebih bawah. Hal ini merupakan salah satu pembagian kewenangan yang sangat penting dalan sentralisasi untuk pengelolaan dalam pembangunan wilayah yang lebih terfokus. Pembagian urusan pemerintahan di bidang kehutanaan terdapat lampiran z dari PP 38 Tahun 2007 (Ekawati, S dkk) yang menyebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung didesentralisasikan kepada pemerintah kabupaten yang meliputi inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam lampiran CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten. Jelaslah, dari peraturan tersebut produk dari gunung Sindoro harusnya sempurna secara maksimal. Bukanlah ingin memberikan penilaian buruk, tapi kenapa dari segala peraturan maupun kebijakan yang ada tetap saja Sindoro tetap “buruk rupa”?  
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2012 diketahui bahwa kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari kondisi fisik hutan lindung yang ada di kabupaten tersebut. Saya tidak akan cerita bagaimana kondisi yang ada di lereng timur sindoro, akan jelas jika Anda menyempatkan diri berkunjung kesana. Deforestasi yang terjadi di kawasan hutan lindung mengindikasikan bahwa kebijkan desentrasilasi pengelolaan hutan lindung belum efektif (ekawati, dkk, 2012). Mungkin salah satu contoh realnya yang terjadi pada sisi timur lereng Gunung Sindoro. Apakah benar dan mungkin karena kegagalan dari sebuah kebijakan?
Ada yang mengatakan bahwa hutan lindung merupakan sebuah barang yang bersifat publik dan privat sehingga bisa dikatakan sumber daya milik bersama, atau lebih dikenal dengan istilah common pool resources. Istilah ini memiliki pengertian bahwa adanya kesempatan pada masyarakat untuk bebas memanfaatkan dan mngelola sumberdaya hutan sesuai dengan kepentingan. Hal ini dapat memberikan dua pilihan pada kita apakah akan memanfaatkan dan mngelola secara arif dengan pranata-pranata sesuai budayanya atau dengan tanpa mempedulikan pertimbangan aspek ekologis tertentu.
Suatu waktu ketika saya mendapatkan sebuah materi tentang evaluasi DAS, sempat memahami bahwa pengelolalaan sumber daya alam maupun lingkungan saat ini bukan berdasarkan batas wilayah ekosistem. Suatu pengelolaan dengan implementasi yang dapat memberikan kebijakan saling terkait antar daerah di dalamnya. Sehingga antar daerah secara langsung dapat merasakan hasil dan manfaatnya. Hal ini membuat perbedaan kebijakan menghasilkan produk ekosistem yang berbeda pula, padahal wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Tentunya siklus kehidupan didalamnya secara langsung pun berbeda pula. Karakteristik hutan lindung yang seperti itu menyebabkan pemanfaatan barang dan jasa hutan di suatu kabupaten tidak menghalangi kabupaten lain untuk juga turut merasakan manfaatnya, sebaliknya kabupaten lain juga bisa terkena eksternalitas negatif dari pengelolaan hutan lindung. Kondisi seperti itu, menurut Kartodihardjo (2006), menimbulkan interdependensi atau ketergantungan antar daerah.  


Jika kita kembali lagi dengan kondisi lereng Sindoro yang dinyatakan sebagai hulunya salah satu DAS besar di Pulau Jawa mengalami kerusakan tentunya dampak yang dihasilkan akan dirasakan oleh semua sub-daerah aliran sungai yang masih dalah satu kesatuan DAS Progo. Sebagai informasi diketahui bahwa Pengerusakan hutan menyumbang 20% dari emisi gas rumah kaca setiap tahun (www.greenpeace.org). Ketika mereka dikeringkan dan dibakar akan menjadi sebuah bom karbon, melepaskan hampir dua milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahun. Kita membutuhkan hutan dengan luasan besar untuk 'meredam' dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi yang terjadi kita melakukan sebaliknya. Kita Menghancurkan Hutan.
Jujur saja, saya sendiri bukanlah bagian dari si pembuat kebijakan yang telah dibuat sedemikian banyaknya itu dan tidak tau persis bagaimana kebijakan tersebut diaplikasikan serta bagaimana implementasinya yang sesungguhnya. Bukan ingin teriak ini itu tanpa ada perbuatan, saya hanya ingin mengajak kepada teman-teman yang berkecimpung secara langsung di tubuh Gunung Sindoro agar selalu mengindahkan kelestarian lingkungan Sindoro saat melakukaan pengolahan maupun pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya. Mungkin ini tidak memberikan efek secara langsung tetapi dengan tangan – tangan kecil kita yang bersatu akan memberikan dampak yang besar.

Sumber: 
Both ENDS and Gomukh, 2005, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai “Sebuah Pendekatan Negoisasi”, diterjemahkan Soelistyowati, H dan Hardono, H, 2008, INSISTPress, Yogyakarta.
  Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung Tahun 2011-2031.Sulistya Ekawati, dkk, 2012, 
Analisis Diskursus dan Implikasinya Bagi Perbaikan Kebijakan, Kementerian Kehutanan, Jakarta.