.
‘Mengupas segala realita sisi geografis dari lereng Sindoro’

landscape

landscape

Kamis, 10 Oktober 2013

Suro Lereng Sindoro dan Muharram




Suro merupakan bulan pertama pada kalender Jawa. Dalam sejarahnya, kalender ini merupakan hasil dari perkembangan penyebaran Islam di Pulau Jawa dengan sistem melanjutkan tahun Shaka. Yakni penanggalan kebudayaan Hindu-Budha yang telah berkembang sebelumnya, dengan mengikuti tarikh Hijriyah. Kalender Jawa dilakukan pada saat kerajaan Mataran dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusumo yang memulai penanggalan pada tahun 1547 Shaka.
Secara tradisi Jawa, Suro merupakan bulan yang memiliki nilai sakral. Banyak yang melakukan ngalap berkah pada bulan ini salah satunya dengan laku lek - lek-an (tidak tidur) semalam suntuk. Melakukan ziarah di makam-makam kuno atau di tempat yang dianggap sakral maupun memiliki kekuatan gaib. Banyak pula yang melakukan ruwatan untuk membuang sial sebagaimana dikenal dengan Ruwatan Murwakala.
 Spiritual Jawa memahami bahwa bulan Suro merupakan awal kehidupan baru. Sebagai bentuk rasa hormat kepada Sang Pencipta yang membuat hidup dan menghidupi, yang telah memberi kesempatan untuk lahir, hidup dan berkiprah di dunia. Begitulah pemahaman bagi orang – orang tradisional Jawa mayoritas erat dengan kebatinan. Mereka melakukan intropeksi, mengucap rasa syukur dengan khusuk pada bulan Suro dengan banyak melakukan tirakatan sebagai wujud keprihatianan. Pemahaman ini sudah diyakini sejak dulu oleh para sesepuh Jawa sepenuhnya.
Beberapa tempat yang memiliki nilai budaya pada malam di bulan Suro biasa dilakukan ritual-ritual religi hingga sekarang, salah satunya dilakukan di lingkungan lereng Gunung Sindoro. Terdapat spot-spot yang memiliki nilai budaya tinggi yang erat dengan kiprah ritual Suronan. Salah satunya di Umbul Jumprit dengan ritual bersemedi dan kungkum di Sendang Umbul Jumprit sebagai bentuk membersihkan diri dari segala kotoran dan penyucian jiwa. Di Sendang Sedukun Traji dengan ritual Suran Traji yang dikenal dengan melakukan kirab nganten Lurah Traji dan pagelaran wayang kulit sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Tak hanya itu, para muda-mudi dari berbagai kota di sekitar Gunung Sindoro juga melakukan ritual pendakian juga ikut meramaikan. Entah, hanya sekedar berpetualang melewati berbagai jalur pendakian yang ada untuk mendaki hingga ke puncak pada malam tanggal 1 bulan Suro maupun hanya sekedar menikmati alam di sekitar kaki lereng Sindoro. Para warga sekitar Gunung Sindoro-pun juga melakukan ritual muncak dan berada di puncak hingga matahari terbit. Ritual ini telah dilakukan secara turun temurun sejak nenek moyang mereka.
Pada dasarnya ritual di tempat - tempat tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, sebagaimana yang telah diuraikan pada alenia sebelumnya. Ritual – ritual tersebut erat dengan lakon sesaji, arak-arakan, do'a do'a dari sang tetua adat.

Sendang Umbul Jumprit
Berdasarkan uraian yang telah tertulis pada alenia awal dapat diketahui bahwa bulan Suro memiliki hubungan dengan islam. Bulan Suro pada kalender Jawa tersebut bertepatan dengan bulan Muharram pada penanggalan Hijriyah. Sebagai awal bulan pada tahun hijriyah yang bermula dirintis pada jaman khalifah Umar bin Khatab RA yakni belasan tahun setelah Rasulullah melakukan Hijrah. Pada bulan ini umat Islam sangat memuliakan bulan Muharram. Sebagaimana Firman Allah yang tersurat dalam Al Quran yakni:
 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya dan ketauhilah bahwasanya Allah beserta oaring-orang yang bertakwa”(QS.Attaubah:36).
Muharram juga menyimpan peristiwa-peristiwa penting dalam islam dan memberikan hikmah serta inspirasi bagi kehidupan manusia. Peristiwa tersebut beberapa diantaranya adalah waktu dimana bertaubatnya Nabi Adam kepada Allah dan dipertemukan dengan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan Hiu yang telah berada selama 40 hari. Bulan Muharram juga merupakan waktu terbunuhnya cucu Rasululah, Husein, di bukit Karbala.
Bagi umat Muslim dalam memperingati Muharram merupakan bentuk rasa syukur dengan melakukan ibadah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dengan memetik hikmah rohaniah dari bulan muharram. Rasulullah menganjurkan untuk menjadikan hari pada bulan tersebut sebagai wadah peningkatan ibadah dan amal shaleh. Salah satunya dengan berpuasa di hari Asyura, sebagaimana yang dijelaskan pada hadist sebagai berikut “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau” (H.R Muslim). Bahkan Rasulullah bersabda “ Jika aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari ‘tasua’ (9Muharram)” (HR. Muslim) sebagai pembeda kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi Musa as. Dianjurkan pula untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang melapangkan (memberi keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selam satu tahun” (HR.Baihaqi).
Ritual-ritual dalam bulan Suro (Muharram) yang dilakukan di sekitar Gunung Sindoro dalam kebudayaan Jawa merupakan kebebasan individu atas hak dalam memiliki kepercayaan religitas. Bagi rakyat Jawa kebatinan mereka dengan cara seperti itulah budaya mengajarkan pada manusia untuk menghormati dan mengimani Sang Pencipta. Selain itu juga sebagai cerminan pelestarian budaya sehingga memberikan nilai yang khas bagi Sindoro.
PUSTAKA:
Al-Quran Kariim
id.wikipedia.org