Suro merupakan bulan
pertama pada kalender Jawa. Dalam sejarahnya, kalender ini merupakan hasil dari
perkembangan penyebaran Islam di Pulau Jawa dengan sistem melanjutkan tahun
Shaka. Yakni penanggalan kebudayaan Hindu-Budha yang telah berkembang sebelumnya,
dengan mengikuti tarikh Hijriyah. Kalender Jawa dilakukan pada saat kerajaan
Mataran dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusumo yang memulai penanggalan pada
tahun 1547 Shaka.
Secara tradisi Jawa,
Suro merupakan bulan yang memiliki nilai sakral. Banyak yang melakukan ngalap berkah pada bulan ini salah
satunya dengan laku lek - lek-an
(tidak tidur) semalam suntuk. Melakukan ziarah di makam-makam kuno atau di tempat
yang dianggap sakral maupun memiliki kekuatan gaib. Banyak pula yang melakukan
ruwatan untuk membuang sial sebagaimana dikenal dengan Ruwatan Murwakala.
Spiritual Jawa memahami bahwa bulan Suro
merupakan awal kehidupan baru. Sebagai bentuk rasa hormat kepada Sang Pencipta
yang membuat hidup dan menghidupi, yang telah memberi kesempatan untuk lahir,
hidup dan berkiprah di dunia. Begitulah pemahaman bagi orang – orang tradisional
Jawa mayoritas erat dengan kebatinan. Mereka melakukan intropeksi, mengucap
rasa syukur dengan khusuk pada bulan Suro dengan banyak melakukan tirakatan
sebagai wujud keprihatianan. Pemahaman ini sudah diyakini sejak dulu oleh para
sesepuh Jawa sepenuhnya.
Beberapa tempat yang
memiliki nilai budaya pada malam di bulan Suro biasa dilakukan ritual-ritual
religi hingga sekarang, salah satunya dilakukan di lingkungan lereng Gunung Sindoro.
Terdapat spot-spot yang memiliki nilai budaya tinggi yang erat dengan kiprah
ritual Suronan. Salah satunya di
Umbul Jumprit dengan ritual bersemedi dan kungkum
di Sendang Umbul Jumprit sebagai bentuk membersihkan diri dari segala kotoran
dan penyucian jiwa. Di Sendang Sedukun Traji dengan ritual Suran Traji yang dikenal dengan melakukan kirab nganten Lurah Traji
dan pagelaran wayang kulit sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Tak
hanya itu, para muda-mudi dari berbagai kota di sekitar Gunung Sindoro juga
melakukan ritual pendakian juga ikut meramaikan. Entah, hanya sekedar
berpetualang melewati berbagai jalur pendakian yang ada untuk mendaki hingga ke
puncak pada malam tanggal 1 bulan Suro maupun hanya sekedar menikmati alam di
sekitar kaki lereng Sindoro. Para warga sekitar Gunung Sindoro-pun juga
melakukan ritual muncak dan berada di
puncak hingga matahari terbit. Ritual ini telah dilakukan secara turun temurun
sejak nenek moyang mereka.
Pada
dasarnya ritual di tempat - tempat tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu
ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, sebagaimana yang telah diuraikan pada
alenia sebelumnya. Ritual – ritual tersebut erat dengan lakon sesaji, arak-arakan, do'a do'a dari sang tetua adat.
Berdasarkan uraian yang
telah tertulis pada alenia awal dapat diketahui bahwa bulan Suro memiliki hubungan
dengan islam. Bulan Suro pada kalender Jawa tersebut bertepatan dengan bulan Muharram
pada penanggalan Hijriyah. Sebagai awal bulan pada tahun hijriyah yang bermula
dirintis pada jaman khalifah Umar bin Khatab RA yakni belasan tahun setelah
Rasulullah melakukan Hijrah. Pada bulan ini umat Islam sangat memuliakan bulan
Muharram. Sebagaimana Firman Allah yang tersurat dalam Al Quran yakni:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya dan ketauhilah bahwasanya Allah beserta oaring-orang yang bertakwa”(QS.Attaubah:36).
Muharram juga menyimpan
peristiwa-peristiwa penting dalam islam dan memberikan hikmah serta inspirasi
bagi kehidupan manusia. Peristiwa tersebut beberapa diantaranya adalah waktu dimana
bertaubatnya Nabi Adam kepada Allah dan dipertemukan dengan Siti Hawa di Jabal
Rahmah. Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan Hiu yang telah berada selama 40
hari. Bulan Muharram juga merupakan waktu terbunuhnya cucu Rasululah, Husein,
di bukit Karbala.
Bagi umat Muslim dalam
memperingati Muharram merupakan bentuk rasa syukur dengan melakukan ibadah yang
dianjurkan oleh Rasulullah SAW dengan memetik hikmah rohaniah dari bulan
muharram. Rasulullah menganjurkan untuk menjadikan hari pada bulan tersebut sebagai
wadah peningkatan ibadah dan amal shaleh. Salah satunya dengan berpuasa di hari
Asyura, sebagaimana yang dijelaskan pada hadist sebagai berikut “Puasa pada hari Asyura menghapuskan
dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau” (H.R Muslim). Bahkan Rasulullah
bersabda “ Jika aku masih hidup tahun
depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari ‘tasua’ (9Muharram)”
(HR. Muslim) sebagai pembeda kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada
tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi Musa as. Dianjurkan
pula untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang melapangkan (memberi keluarganya
dan ahlinya pada hari Asyura maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya
selam satu tahun” (HR.Baihaqi).
Ritual-ritual dalam bulan
Suro (Muharram) yang dilakukan di sekitar Gunung Sindoro dalam kebudayaan Jawa
merupakan kebebasan individu atas hak dalam memiliki kepercayaan religitas. Bagi
rakyat Jawa kebatinan mereka dengan cara seperti itulah budaya mengajarkan
pada manusia untuk menghormati dan mengimani Sang Pencipta. Selain itu juga
sebagai cerminan pelestarian budaya sehingga memberikan nilai yang khas bagi
Sindoro.
PUSTAKA:
Al-Quran Kariim
id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar