.
‘Mengupas segala realita sisi geografis dari lereng Sindoro’

landscape

landscape

Minggu, 16 Juni 2013

Catatan Kecilku Setahun Lalu

Sewaktu saya kuliah, dosen yang memberikan materi waktu itu menghadirkan sebuah video sederhana. Video bertema evaluasi lahan dikemas sangat apik dan menarik,memaksa setiap mahasiswa yang hadir saat itu untuk berkonsentrasi menikmati di setiap slide yang dihadirkan. Saya tidak akan mengulas apapun soal video tersebut. Karena apa yang terpatri dalam pikiran saya sejak saat itu adalah alunan lembut soundtrack terdengar bebarengan video yang beliau putar...

"Lestari alamku lestari desaku, dimana Tuhanku menitipkan aku. Nyanyi bocah-bocah di kala purnama, nyanyikan pujaan untuk nusa. Damai saudaraku suburlah bumiku, kuingat ibuku dongengkan cerita. Kisah tentang jaya nusantara lama, tentram karta raharja disana..." 


Teringat cerita ibu saya tentang desa kelahirannya yang masih terimbuni dengan "dapuran-dapuran" pohon bambu apus. Setiap waktu terdengar gemerincing daun bambu. Ketika diterpa angin sangat lembut tertangkap di daun telinga. "Hhhmm sungguh indah..." gumamku.

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. 44: 38-39)


Saat itu juga, pikiran saya melompat ke Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan problematika lingkungannya. Pulau besar di Indonesia dengan kantong kekayaan yang menakjubkan tengah mulai susut dan rakyat semakin terpuruk. Padahal seluruh warga Indonesia tau bahwa negaranya kaya. Kaya akan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai Megadiversity Country. Dengan hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara terkaya kedua setelah Brazil.

Tak hanya dari itu, dilihat dari bentang budaya, Indonesia miliki beratus-ratus kultur yang terhimpun menjadi satu kesatuan ideologi. Jelas... Indonesia kita kaya, tetapi kekayaannya mengapa tak pernah dirasakan pada tubuh Indonesia sendiri ??? Lantas dahi saya berkerut, berbagai pertanyaan lainnya terlontar dan menumpuk pada awang-awang tepat diatas kepala saya.

Selang beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, tengah membaca Alquran dan terjemahnya bertemulah saya dengan sepenggal surat yang tertuliskan:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah jadikan mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar -Ruum : 41)

Apa yang tertulis dalam kitab suci ini, yang sudah ada jauh sebelum kakek saya lahir sungguh nyata. Di Indonesia saja sudah banyak terjadi kerusakan. Di beberapa titik kawasan hutan sudah tak lagi perawan, di berbagai spot sumber daya alam digali berlebihan, marak pengalihan penggunaan lahan tanpa memperhatikan kelestarian dan masih banyak lagi. Hingga saya sendiri membayangkan bumi yang di tempati Indonesia sekarang sudah renta dan kesakitan, terluka dan tersayat-sayat. Memang benar semua akibat ulah manusia yang menyeret alam sangat jauh dengan dalih pembangunan. 

Kemudian apa yang terjadi???

Senin, 10 Juni 2013

Informasi sederhana Jalur Pendakian Sisi Timur Gunung Sindoro



Gunung Sindoro secara umum dapat di daki melewati jalur Kledung dan Tambi (Sigedang). Kedua jalur tersebut termasuk dalam rute pendakian yang aman dengan suguhan panorama bentanglahan cukup indah. Jalur Kledung menyajikan lahan pertanian yang panjang diawal pendakian. Sekitar setengah jam kemudian akan menemukan pos pendakian Situk. Dari titik ini, perjalanan akan mulai terasa menanjak hingga dua jam ke depan. Pendakian mulai berbatu setelah melewati daerah Watu Tatah yang sudah mendekati puncak. 
Sedangkan jalur Sigedang, rute pendakian lebih pendek tetapi memerlukan energi lebih. Karena jalur yang ada lebih menanjak setelah masuk di perkebunan teh. Jalur ini jarang digunakan untuk jalur pendakian lebih dipilih oleh pendaki sebagai jalur turun dengan waktu tempuh hanya mencapai sekitar 4-5 jam. Secara lengkap informasi tentang jalur pendakian Gunung Sindoro jalur Kledung maupun Sigedang Anda bisa menilik link ini http://mapalagegama.wordpress.com/operasional/hutan-gunung/

Gambar.1 Sumbing, Merapi, Merbabu dari Sindoro via Kledung (2011)

Ternyata memang ‘banyak jalan menuju Roma’. Begitu pula menuju puncak Gunung Sindoro tak harus selalu melewati jalur pendakian biasa. Yaaks... saya mengetahuinya setelah melakukan penelitian tugas akhir di Gunung Sindoro. Gunung Sindoro memang telah mengalami perubahan penggunaan lahan terutama di bagian lereng tengah hingga atas yang awalnya berupa hutan menjadi lahan pertanian. Pada lereng atas bagian hutan sudah mulai berubah menjadi lahan kebun campur dan sedikit telah digunakan sebagai ladang. Hal ini memungkinkan terdapatnya jalur penebang yang semakin jelas yang mengarah ke lereng atas hingga menuju puncak.

Gambar.2 Jalur pendakian sisi timur Sindoro (2012)

Gambar.3 Jalur Katekan (2013)
Pada saat survei di lapangan, saya menemukan jalur penebang berjumlah 3 rute yang dapat di gunakan untuk tracking menuju puncak pada sisi timur lereng Gunung Sindoro. Ketiga jalur tersebut adalah jalur Purbosari, Katekan dan Balesari yang sama-sama berada di Kabupaten Temanggung. Ketiga jalur tersebut memang sangat jarang dilewati pendaki. Karena belum dikenal secara umum dan hanya biasa digunakan penduduk setempat untuk mencari kayu. Jalur yang ada pada umumnya berupa jalan batu (trasahan) dari permukiman terakhir hingga batas vegetasi sekitar 2 sampai 3 kilometer. Dengan lebar antara 3 sampai 4 meter biasa digunakan petani untuk mengangkut hasil pertanian lahan kering. Sampai batas vegetasi jalan berubah menjadi jalan pendakian biasa dan pada umumnya akan langsung terasa tanjakan-tanjakan yang ada.

Ketika Sindoro Tak Lagi Hijau


Ibuku lahir di salah satu desa di lereng kaki timur Sindoro. Beliau sering bercerita, waktu itu Gunung Sindoro masih sangat sejuk dan hijau. Banyak pepohonan di sepanjang jalan dan mengerumuni setiap desa. Hutan di lereng atas gunung masih lebat, ”banyak orang ilang” ujar beliau yang membuat imajinasiku berputar-putar. Ketika hujan berangin tiba, daun-daun di pepohonan mengeluarkan suara berisik mencekam dan mengerikan. Sehingga anak-anak di waktu itu tidak ada yang berani keluar rumah sebelum hujan reda. Mata air deras mengeluarkan air yang sangat jernih, ramai dengan bunyi “blup..blup..blup..blup”. Tampungan mata air di ujung desa sampai tak mampu membendung, airnya tumpah kemana-mana. “Mandi di kali tinggal nyemplung, air tidak kotor dan tidak pernah bikin gatal-gatal” ujar beliau. Sepenggal kisah Sindoro 50 tahun lalu dari ibuku yang beliau kenal. Sampai kini telah memiliki tiga cucu yang sudah mulai beranjak remaja.

Gambar.1 Gunung Sindoro terselimut kabut (2010)
Lain waktu lain cerita ketika keadaan telah berubah. Sekarang tentunya Sindoro berbeda jauh dari yang ibuku ceritakan itu. 

Kini, jika Anda menyempatkan jalan-jalan di lereng timur Sindoro, lereng yang ada nampak gersang meranggas di saat musim kemarau. Berwarna hijau di saat musim hujan karena tanaman padi yang terhampar di setiap terasering lereng. Semakin mendaki, Anda akan semakin menyadari bahwa gunung yang sedang Anda pijak terasa begitu telanjang, botak. Pepohonan sangat minim, bahkan Anda seperti mampu menghitung deretan pohon diujung igir yang ada di seberang dengan mudah. Sabuk hijau hanya di mulai dari bagian lereng atas hingga sebelum area puncak.

Gambar.2 Pepohonan di igir seberang bisa Anda hitung dengan mudah (2013)
Saya pernah menyempatkan menilik mata air yang pernah ibu ceritakan pada saya. Tampungan mata air tidak tumpah kemana-mana. Meskipun kualitas masih bagus tetapi kapasitas mungkin jauh sangat berkurang dari 50 tahun lalu. Bagi Anda yang mungkin sebagai salah satu ‘anggun’ (anak nggunung-red)–nya Sindoro, seperti saya, tidakkah merasakan kemirisan dengan kondisi tersebut ? atau apakah itu memang wajar ?
Menurut pengamatan saya, permasalahan utama di kawasan Sindoro adalah perubahan lahan hijau menjadi terbuka secara intensif sarat tanpa adanya konservasi  yang berkelanjutan. Mayoritas penduduk di lereng Sindoro memang sebagai petani, sehingga jelas mereka sangat membutuhkan lahan untuk pertanian. Kegiatan merubah lahan hutan menjadi lahan berproduksi pertanian sangatlah mungkin dilakukan. Saya yakin, meskipun petani yang memanfaatkan lereng Sindoro tidak semuanya berbuat ‘nakal’. Tetapi apa yang terjadi, lingkungan lereng Sindoro rusak.
Kerusakan yang ada salahs atunnya dipicu oleh kebakaran hutan lereng Sindoro yang dapat merugikan secara ekologi. Hutan terbakar, selain akibat pengaruh musim kemarau yang membuat lahan menjadi kering, juga akibat dilakukan secara sengaja oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Akhir tahun 2012, dari BPKH Temanggung, diketahui jumlah spot kebakaran terjadi di tiga Resor Pemangku Hutan, yaitu Kemloko, Jumprit dan Kwadungan (Suara Merdeka, 2012). Kebakaran terjadi sebanyak 18 kejadian dengan membakar lahan seluas 165,7 ha di RPH Kwadungan, Kemloko seluas 1,5 ha sedangkan RPH Jumprit seluas 91,5 ha. Kebakaran di tahun tersebut beberapa terindikasi akibat dibakar secara sengaja oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk mencari kayu hasil pembakaran dan perluasan lahan pertanian. Selain itu kebakaran dapat terjadi akibat dari sisa-sisa api dari para pendaki terutama di musim pendakian. 

Gambar.3 Titik api masih menyala ketika terjadi kebakaran di lereng gunung Sindoro di foto dari sisi timur Dsn. Kolombeyan, Candiroto, Temanggung, Selasa (25/9) malam. (ANTARA FOTO, 2012)
Penebangan pohon-pohon secara liar di hutan lereng atas Sindoro juga banyak terjadi. Biasanya penebang liar ini akan langsung meninggalkan lokasi tanpa kembali untuk memperbaiki lahan yang telah ia ambil sumberdayanya. Sehingga hutan di Sindoro tidak mengalami pembaharuan yang imbang sehingga menyebabkan hutan semakin kritis.
Lahan yang digunakan untuk pertanian juga sering dijumpai tanpa mengindahkan konservasi yang baik. Petani yang tidak pintar, biasanya hanya mementingkan pribadi. Mereka hanya memperhitungkan bagaimana ia dapat keuntungan sebanyak-banyaknya dengan merubah semua lahan dimanapun posisinya menjadi lahan pertanian. Seringkali dijumpai lahan yang seharusnya untuk daerah konservasi dibuka, digunakan sebagai pertanian. Selain itu, terasering dibuat sejajar dengan kemiringan lereng. Memang hal ini ditujukan untuk menunjang dalam kemampuan pertumbuhan tanaman secara maksimal tetapi dampak penggerusan tanah permukaan menjadi semakin besar.

Gambar.4 Lahan kritis digunakan untuk lahan pertanian (2013)
Kegiatan-kegiata diatas jelas tanpa ada konservasi menyebakan Sindoro semakin kritis lingkungan. Diketahui dari sebuah penelitian bahwa, tingkat bahaya erosi di kawasan Gunung Sindoro sudah mencapai dalam status tinggi. Selain itu, dalam beberapa artikel telah ditulis bahwa kawasan Gunung Sindoro tengah mengalami kekritisan lahan dan setiap tahunnya mengalami penambahan luas. Banyak pula diinformasikan bahwa vegetasi yang ada semakin berkurang, mengakibatkan air hujan tidak dapat meresap dalam tanah secara maksimal sehingga air hujan yang jatuh dipermukaan menjadi air larian permukaan dan langsung masuk ke sungai. Hal ini menyebabkan air tanah berkurang, mata air semakin menyusut. Alhasil di beberapa kecamatan yang ada di lereng Sindoro terutama bagian timur banyak diberitakan mengalami kekeringan di musim kemarau bahkan hingga meminta bantuan air bersih.
Jika Sindoro terus dibiarkan terdegradasi, dalam waktu mendatang dapat dimungkinkan akan menjadi lahan yang sangat kering. Anda boleh membayangkan setidaknya sekering Pegunungan Sewu di Gunungkidul. Atau bahkan menjad lahan tandus yang amat mengerikan.
Lahan tandus dapat terbentuk akibat adanya proses penelanjangan yang terjadi secara terus menerus tanpa ada proses yang bersifat membangun. Pelapukan dan perpindahan material dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan masswashting menyebabkan lapisan tanah hilang sedikit demi sedikit. Akibatnya Sindoro akan dimulai dengan kehilangan lapisan tanah fertil.
Ketika tahap ini terjadi, tanpa adanya tindakan konservasi secara intens, proses denudasi yang ada akan terjadi semakin hebat mengakibatkan suatu waktu Sindoro benar-benar kehilangan lapisan tanah selanjutnya menjadi seonggok batuan volkan tandus raksasa. Lambat laun batuan tersebut terlapuk mekanis maupun kimiawi bahkan dapat mengalami penurunan permukaan lereng positif Sindoro hingga mencapai bentuk permukaan nyaris datar. Sungguh mengerikan bukan?? Siapa yang mau Sindoro menjadi tak hijau lagi hingga menjadi lahan yang mengerikan seperti ini? 

Gambar.5 Salah satu bentuklahan akibat dari penelanjangan.
Saran untuk menyelamatkan kondisi Gunung Sindoro saat ini sudah cukup banyak, dan pastinya kesemuanya sangat bermanfaat. Saran-saran tersebut mungkin telah dicakup pada perencanaan yang ada terutama dalam perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi sangat disayangkan sekali, ketika rencana hebat tersebut kadang atau mungkin tidak dilakukan realisasi secara maksimal atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Karena hingga sekarang, jujur saja, dalam mata awam tidak ada perubahan positif secara kentara. Mungkin ada tapi tidak semua merasakan. Misalnya sudah ada daerah yang melakukan tanaman tumpangsari antara tembakau dan pohon keras seperti kopi, penanaman suren ataupun sengon di sepanjang jalan atau lahan terbuka. Ini salah satu konservasi yang sangat perlu dicontoh atau bahkan sangat perlu dibiasakan bagi masyarakat lereng Sindoro. Karena hal ini sudah ada di beberapa tempat tapi belum dapat dilakukan secara maksimal untuk dilakukan secra keseluruhan di kawasan lereng Gunung Sindoro. Entah kurangnya komunikasi ataukah tidak adanya ketertarikan bahkan mungkin kurangnya kesadaran masyarakat dan tidak adanya konsistensi pemerintah daerah untuk merealisasikan secara serius perencanaan atau kegiatan yang telah dibuat tesebut yang menyebabkan menjadi faktor X semakin kritisnya Gunung Sindoro.
 
DAPUS:
Arsyad, S. Konservasi Tanah Dan Air, IPB, Bogor 1989
Suara Merdeka,Kebakaran Hutan Sindoro Meluas, 20 september 2012
Website Kabupaten Temanggung