.
‘Mengupas segala realita sisi geografis dari lereng Sindoro’

landscape

landscape

Selasa, 15 Januari 2013

Gimbal 'Titisan' Nenek Moyang


Dunia mengenal rambut gimbal dengan model gembel, menggumpal, menyatu tak terurai tiap helainya karena terlalu sulit untuk disisir dan terkesan tak rapi. Banyak yang ‘meggimbal’ rambutnya. demi menambah daya tarik karena tuntutan pekerjaan, sensasi, sekedar gaul, keren atau memang sebuah keterlanjuran tak pernah merawat rambut. Gimbal tidak hanya dimiliki oleh kalangan artis atau muda – mudi yang lekat dengan ikon rasta. Salah satunya anak-anak di lereng Gunung Sindoro sebagai keturunan ‘penduduk asli’ Dieng memiliki rambut gimbal yang tak kalah ‘reggae’nya dengan Mbah Surip si-penyanyi gimbal.

 
Fenonemana anak gimbal di lereng sindoro sudah menjadi bahan perbincangan para budaya, sosiolog maupun antropolog yang cukup hangat. Bukan sensasi dari si-anak ataupun orang tua, tetapi memang terlahir sebagai titisan salah satu tokoh spiritual Dieng yang termakan dengan sumpahnya akibat keinginan yang tak tersampaikan.
Kyai Kolodete dipercaya masyarakat Dieng sebagai tokoh pengayom sakti dan mempunyai ciri khas, rambutnya yang menggumpal, dalam istilah lokal disebut gembel atau gimbal (Cahyono, H. 2007). Kolodete adalah anak perangkat desa sakti mandraguna di masa kejayaan Mataram. Sebagai sosok yang sangat mengayomi masyarakatanya, Kolodete menginginkan menjadi kepala desa seperti halnya sang ayah. Keinginana yang tak pernah terwujudkan dari pihak Mataram, membuat dirinya kecewa dan mengantarkannya untuk melakukan semedi. Dalam ritual semedi, ia mengadu dan berdoa agar keinginananya terkabul pada Tuhan. Tak lepas dari itu ia melakukan sumpah, akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau mulai berjalan apabila keinginananya tidak terkabulkan (Nafyahana). Pada kenyataannya, keinginan Kolodate untuk mengayomi rakyat tidak terkabul, sehingga sumpah yang diucapkannya sebagai luapan kekecewaannya terjadi. Sehingga masyarakat Dieng yang tersebar di lereng kaki Perahu, lereng Sindoro, lereng Sumbing hingga Rogojembangan yang menjadi ‘keturunnnya’ memiliki rambut gimbal. Fenomena tersebut dapat ditemui hingga sekarang.
Rambut gimbal ini memiliki keunikan. Gimbal ‘keturunan’ Kolodete hanya ditemukan pada anak – anak (sekitar 6 bulan hingga 10 tahun) yang didapat secara alamiah. Diawali dengan sakit panas tinggi atau kejang kejang kemudian setelah itu muncul helai-helai rambut yang mulai kusut dan menyatu kemudian menjadi gimbal. Dalam sebuah referensi yang menyebutkan sumber wawancara yang dilakukan dengan pemangku adat setempat diketahui bahwa macam rambut gimbal yang biasa tumbuh adalah gembel pari (ukuran gembel paling kecil), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembel hanya beberapa helai), dan gembel wedus (gembel dengan ukuran paing besar). Menurut pemangku adat Dieng, "Anak berambut gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kaladete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kalaprenye. Mereka adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
S. Prawiroatmojo (1981), mengatakan bahwa anak gimbal tersebut sering disebut sebagai anak sukerta. Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari Batarakala. Agar kembali sebagai mana anak manusia yang wajar, maka harus disucikan atau dibersihkan dari sesukernya (gimbalnya). Proses menghilangkan sesuker gimbal itulah yang disebut Ruwatan. Ruwat berasal dari bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari karakteristik anak gimbal yang dicadangkan untuk sesaji Batarakala

Tujuan ruwatan potong gimbal tersebut pada dasarnya untuk memohon kepada Tuhan YME agar ‘mala’ yang mengenai anak tersebut hilang dan si-anak terbebas dari kesaktian roh Kolodete (Ramli Nawawi dalam rayhanana). Menurut masyarakat setempat, Ruwatan hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya permintaan dari si-anak gimbal tersebut. Jika permintaan tak terpenuhi maka akan terjadi ‘kegagalan hidup’ yang ditandai dengan tumbuh lagi gimbal yang telah dipotong atau akan mengalami gangguan fisik dan psikis. Berdasarkan beberapa referensi, diketahui keinginana sangat beagam. Permintaan terucap dari hal yang sederhana, mudah dipenuhi hingga yang tak mungkin bisa terpenuhi. Diketahui pernah ada yng meminta kepala ayahnya sendiri. Hingga si anak tak pernah dilakukan potong gimbal hingg ia meninggal. Ada pula ktika ruwatan mengalami kekurangan dalam pemenuhan sehingga si anak mengalami kejang  kejang dn tak sadarkan diri. Setelah di penuhi tak lam dari itu, ia sehat kembali.

Prosesi ruwatan akan dilakukan dengan diawali memohon ijin kepada Tuhan untuk memotong rambut si-anak. Kemudian dukun Gombak mencukur habis rambut si-anak, sebagai pembersihan diri secara lahir dan batiniah dari pengaruh roh jahat, agar dalam hidupnya terhindar dari gangguan kekuatan ghaib yang ada pada dirinya. Rambut gimbal yang telah dicukur diberi mantra kemudian dilarung.
Nilai sesaji untuk potong gombak sangat bergantung pada kemampuan masyarakat yang menyelenggarakan, sehingga hal ini akan dilaksanakan bila orang tua sudah siap. Bahkan bila mempunyai kemampuan lebih sering diselenggarakan dengan pergelaran wayang kulit. Ada beberapa sesaji yang biasa digunakan, antara lain Ambeng bodro, berupa nasi yang dikelilingi lauk pauk tempe, tahu dan telur. Kemudian Ambeng bobrok, berupa ketan yang diberi gula merah, jenang merah putih serta jajan pasar, dan Sesaji lain yang diperlukan antara lain kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir dan cermin.

Penulis belum pernah sama sekali mendapatkan referensi berdasarkan sebuah teori atau berprinsip pada keilmiahan yang mengupas dan menguak segala tentang rambut gimbal pada anak – anak ‘keturunan’ Kolodete tersebut. Hanya saja penulis berpraduga, gimbal yang terjadi pada anak – anak tersebut sangat dipicu oleh adanya faktor genetik. Faktor perkawinan antara gen pembawa yang lebih dominan dimiliki perempuan sehingga kemungkinan peluang berambut gimbal lebih besar terjadi pada laki-laki. Sehingga tak banyak pada kenyataanya rambut gembel teradi pada anak laki – laki. Selain itu, perkawinan ‘serumah’ yang sudah menjadi hal biasa terjadi di masyarakat setempat memperbesar lagi peluang untuk memiliki keturunan berambut gimbal mesakipun tidak selalu pada keturunan langsung.   
Menurut penulis, faktor iklim adalah parameter pemacu adanya rambut gembel. Suhu yang dingin hingga 15 derajad cesius memungkinkan untuk rambut mengalami kelembapan lebih cepat sehingga mudah mengalami penggumpalan – penggumpalan pada tiap helainya. Selain itu perawatan si-anak tidak dilakukan secara intensif. Para orang tua kurang memperhatikan perawatan rambut hal itu disebabakan karena mungkin dianggap menjadi hal sepele.  
Wacana yang sangat menarik, antara mitos, budaya, medis, spiritual maupun dari sudut pandang secara ilmiah. Saling berhubungan satu sama lain dan tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi lereng Sindoro yang sebagian sisinya terisi oleh ‘keturunan’ Kolodete tersebut.  
PUSTAKA  
Cahyono, H. 2007. Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. UIN Yogyakarta.  
Nafyahanna. Faktor Gembel di Dataran Tinggi Dieng Jika Dilihat Dari Faktor Kesehatan.  
S. Prawiroatmojo, Bausastra Jawa Indonesia, jilid II .Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar