Dunia
mengenal rambut gimbal dengan model gembel, menggumpal, menyatu
tak terurai tiap helainya karena terlalu sulit untuk disisir dan terkesan tak
rapi. Banyak yang ‘meggimbal’ rambutnya. demi menambah daya tarik karena
tuntutan pekerjaan, sensasi, sekedar gaul, keren atau memang sebuah
keterlanjuran tak pernah merawat rambut. Gimbal tidak hanya dimiliki oleh
kalangan artis atau muda – mudi yang lekat dengan ikon rasta. Salah satunya anak-anak
di lereng Gunung Sindoro sebagai keturunan ‘penduduk asli’ Dieng memiliki
rambut gimbal yang tak kalah ‘reggae’nya dengan Mbah Surip si-penyanyi gimbal.
Fenonemana anak gimbal di lereng sindoro
sudah menjadi bahan perbincangan para budaya, sosiolog maupun antropolog yang cukup
hangat. Bukan sensasi dari si-anak ataupun orang tua, tetapi memang terlahir
sebagai titisan salah satu tokoh spiritual Dieng yang termakan dengan sumpahnya
akibat keinginan yang tak tersampaikan.
Kyai Kolodete dipercaya masyarakat Dieng
sebagai tokoh pengayom sakti dan mempunyai
ciri khas, rambutnya yang menggumpal, dalam istilah lokal disebut gembel atau
gimbal (Cahyono, H. 2007). Kolodete adalah anak perangkat desa sakti
mandraguna di masa kejayaan Mataram. Sebagai sosok yang sangat mengayomi masyarakatanya, Kolodete
menginginkan menjadi kepala desa seperti halnya sang ayah. Keinginana yang tak
pernah terwujudkan dari pihak Mataram, membuat dirinya kecewa dan
mengantarkannya untuk melakukan semedi. Dalam ritual semedi, ia mengadu dan
berdoa agar keinginananya terkabul pada Tuhan. Tak lepas dari itu ia melakukan sumpah,
akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau mulai berjalan apabila
keinginananya tidak terkabulkan (Nafyahana). Pada kenyataannya, keinginan Kolodate untuk mengayomi rakyat
tidak terkabul, sehingga sumpah yang diucapkannya sebagai luapan kekecewaannya
terjadi. Sehingga masyarakat Dieng yang tersebar di lereng kaki Perahu, lereng
Sindoro, lereng Sumbing hingga Rogojembangan yang menjadi ‘keturunnnya’ memiliki
rambut gimbal. Fenomena tersebut dapat ditemui hingga sekarang.
Rambut
gimbal ini memiliki keunikan. Gimbal ‘keturunan’ Kolodete hanya ditemukan pada
anak – anak (sekitar 6 bulan hingga 10 tahun) yang didapat secara alamiah.
Diawali dengan sakit panas tinggi atau kejang kejang kemudian setelah itu
muncul helai-helai rambut yang mulai kusut dan menyatu kemudian menjadi gimbal.
Dalam sebuah referensi yang menyebutkan sumber wawancara yang dilakukan dengan pemangku adat setempat diketahui bahwa
macam rambut gimbal yang biasa tumbuh adalah gembel pari (ukuran gembel paling kecil), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembel hanya beberapa helai), dan gembel wedus (gembel dengan ukuran paing
besar). Menurut pemangku adat Dieng, "Anak berambut
gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang
Agung Kaladete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kalaprenye. Mereka
adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
S.
Prawiroatmojo (1981), mengatakan bahwa anak gimbal tersebut sering disebut
sebagai anak sukerta. Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa
dari Batarakala. Agar kembali sebagai
mana anak manusia yang wajar, maka harus disucikan atau dibersihkan dari
sesukernya (gimbalnya). Proses menghilangkan sesuker gimbal itulah yang disebut
Ruwatan. Ruwat berasal dari bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari
karakteristik anak gimbal yang dicadangkan untuk sesaji Batarakala.
Tujuan
ruwatan potong gimbal tersebut pada dasarnya untuk memohon kepada Tuhan YME agar
‘mala’ yang mengenai anak tersebut
hilang dan si-anak terbebas dari kesaktian roh Kolodete (Ramli Nawawi dalam
rayhanana). Menurut masyarakat setempat, Ruwatan hanya dapat dilakukan setelah
terpenuhinya permintaan dari si-anak gimbal tersebut. Jika permintaan tak
terpenuhi maka akan terjadi ‘kegagalan hidup’ yang ditandai dengan tumbuh lagi
gimbal yang telah dipotong atau akan mengalami gangguan fisik dan psikis.
Berdasarkan beberapa referensi, diketahui keinginana sangat beagam. Permintaan
terucap dari hal yang sederhana, mudah dipenuhi hingga yang tak mungkin bisa
terpenuhi. Diketahui pernah ada yng meminta kepala ayahnya sendiri. Hingga si
anak tak pernah dilakukan potong gimbal hingg ia meninggal. Ada pula ktika
ruwatan mengalami kekurangan dalam pemenuhan sehingga si anak mengalami
kejang kejang dn tak sadarkan diri.
Setelah di penuhi tak lam dari itu, ia sehat kembali.
Prosesi ruwatan akan dilakukan dengan
diawali memohon ijin kepada Tuhan untuk memotong rambut si-anak. Kemudian dukun Gombak mencukur habis rambut
si-anak, sebagai pembersihan diri secara lahir dan batiniah dari pengaruh roh
jahat, agar dalam hidupnya terhindar dari gangguan kekuatan ghaib yang ada pada
dirinya. Rambut gimbal yang telah dicukur diberi mantra kemudian dilarung.
Nilai sesaji untuk potong gombak sangat
bergantung pada kemampuan masyarakat yang menyelenggarakan, sehingga hal ini
akan dilaksanakan bila orang tua sudah siap. Bahkan bila mempunyai kemampuan
lebih sering diselenggarakan dengan pergelaran wayang kulit. Ada beberapa
sesaji yang biasa digunakan, antara lain Ambeng
bodro, berupa nasi yang dikelilingi lauk pauk tempe, tahu dan telur.
Kemudian Ambeng bobrok, berupa ketan
yang diberi gula merah, jenang merah putih serta jajan pasar, dan Sesaji lain
yang diperlukan antara lain kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga
mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir dan cermin.
Penulis belum pernah sama sekali mendapatkan
referensi berdasarkan sebuah teori atau berprinsip pada keilmiahan yang
mengupas dan menguak segala tentang rambut gimbal pada anak – anak ‘keturunan’
Kolodete tersebut. Hanya saja penulis berpraduga, gimbal yang terjadi pada anak
– anak tersebut sangat dipicu oleh adanya faktor genetik. Faktor perkawinan
antara gen pembawa yang lebih dominan dimiliki perempuan sehingga kemungkinan
peluang berambut gimbal lebih besar terjadi pada laki-laki. Sehingga tak banyak
pada kenyataanya rambut gembel teradi pada anak laki – laki. Selain itu,
perkawinan ‘serumah’ yang sudah menjadi hal biasa terjadi di masyarakat
setempat memperbesar lagi peluang untuk memiliki keturunan berambut gimbal
mesakipun tidak selalu pada keturunan langsung.
Menurut penulis, faktor iklim adalah parameter pemacu adanya rambut gembel. Suhu yang dingin hingga 15 derajad cesius memungkinkan untuk
rambut mengalami kelembapan lebih cepat sehingga mudah mengalami penggumpalan –
penggumpalan pada tiap helainya. Selain itu perawatan si-anak tidak dilakukan
secara intensif. Para orang tua kurang memperhatikan perawatan rambut hal itu
disebabakan karena mungkin dianggap menjadi hal sepele.
Wacana yang sangat menarik, antara mitos,
budaya, medis, spiritual maupun dari sudut pandang secara ilmiah. Saling
berhubungan satu sama lain dan tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi lereng
Sindoro yang sebagian sisinya terisi oleh ‘keturunan’ Kolodete tersebut.
PUSTAKA
Cahyono, H. 2007. Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng
Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. UIN Yogyakarta.
Nafyahanna. Faktor Gembel di Dataran Tinggi Dieng Jika
Dilihat Dari Faktor Kesehatan.
S. Prawiroatmojo,
Bausastra Jawa Indonesia, jilid II .Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar