Ibuku lahir di salah
satu desa di lereng kaki timur Sindoro. Beliau sering bercerita, waktu itu
Gunung Sindoro masih sangat sejuk dan hijau. Banyak pepohonan di sepanjang
jalan dan mengerumuni setiap desa. Hutan di lereng atas gunung masih
lebat, ”banyak orang ilang” ujar beliau yang membuat imajinasiku berputar-putar. Ketika hujan berangin tiba, daun-daun di pepohonan
mengeluarkan suara berisik mencekam dan mengerikan. Sehingga anak-anak di waktu
itu tidak ada yang berani keluar rumah sebelum hujan reda. Mata air deras mengeluarkan air yang sangat jernih, ramai dengan bunyi “blup..blup..blup..blup”.
Tampungan mata air di ujung desa sampai tak mampu membendung, airnya
tumpah kemana-mana. “Mandi di kali tinggal nyemplung, air tidak kotor dan tidak pernah bikin gatal-gatal” ujar beliau. Sepenggal kisah Sindoro 50
tahun lalu dari ibuku yang beliau kenal. Sampai kini telah memiliki tiga cucu
yang sudah mulai beranjak remaja.
|
Gambar.1 Gunung Sindoro terselimut kabut (2010) |
Lain waktu lain cerita
ketika keadaan telah berubah. Sekarang tentunya Sindoro berbeda jauh dari yang
ibuku ceritakan itu.
Kini, jika Anda menyempatkan jalan-jalan di lereng timur
Sindoro, lereng yang ada nampak gersang meranggas di saat musim kemarau.
Berwarna hijau di saat musim hujan karena tanaman padi yang terhampar di setiap
terasering lereng. Semakin mendaki, Anda akan semakin menyadari bahwa gunung yang
sedang Anda pijak terasa begitu telanjang, botak. Pepohonan sangat minim, bahkan
Anda seperti mampu menghitung deretan pohon diujung igir yang ada di seberang dengan mudah. Sabuk hijau hanya di mulai dari bagian lereng atas
hingga sebelum area puncak.
|
Gambar.2 Pepohonan di igir seberang bisa Anda hitung dengan mudah (2013) |
Saya pernah menyempatkan menilik mata air yang
pernah ibu ceritakan pada saya. Tampungan mata air tidak tumpah kemana-mana. Meskipun kualitas masih bagus tetapi kapasitas mungkin jauh
sangat berkurang dari 50 tahun lalu. Bagi Anda yang mungkin sebagai salah satu
‘anggun’ (anak nggunung-red)–nya Sindoro, seperti saya, tidakkah merasakan
kemirisan dengan kondisi tersebut ? atau apakah itu memang wajar ?
Menurut pengamatan saya, permasalahan utama di
kawasan Sindoro adalah perubahan lahan hijau menjadi terbuka secara intensif sarat
tanpa adanya konservasi yang
berkelanjutan. Mayoritas penduduk di lereng Sindoro memang sebagai petani,
sehingga jelas mereka sangat membutuhkan lahan untuk pertanian.
Kegiatan merubah lahan hutan menjadi lahan berproduksi pertanian
sangatlah mungkin dilakukan. Saya yakin, meskipun petani yang memanfaatkan
lereng Sindoro tidak semuanya berbuat ‘nakal’. Tetapi apa yang terjadi, lingkungan lereng Sindoro rusak.
Kerusakan yang ada salahs atunnya
dipicu oleh kebakaran hutan lereng Sindoro yang dapat merugikan secara ekologi. Hutan terbakar, selain akibat pengaruh musim
kemarau yang membuat lahan menjadi kering, juga
akibat dilakukan secara sengaja oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Akhir tahun 2012, dari BPKH Temanggung,
diketahui jumlah spot kebakaran terjadi di tiga Resor Pemangku Hutan, yaitu
Kemloko, Jumprit dan Kwadungan (Suara Merdeka, 2012). Kebakaran terjadi
sebanyak 18 kejadian dengan membakar lahan seluas 165,7 ha di RPH Kwadungan,
Kemloko seluas 1,5 ha sedangkan RPH Jumprit seluas 91,5 ha. Kebakaran di tahun
tersebut beberapa terindikasi akibat dibakar secara sengaja oleh sekelompok
orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk mencari kayu hasil
pembakaran dan perluasan lahan pertanian. Selain itu kebakaran dapat terjadi
akibat dari sisa-sisa api dari para pendaki terutama di musim pendakian.
|
Gambar.3 Titik api masih menyala ketika terjadi kebakaran di lereng gunung
Sindoro di foto dari sisi timur Dsn. Kolombeyan, Candiroto, Temanggung, Selasa (25/9) malam. (ANTARA FOTO, 2012) |
|
Penebangan pohon-pohon
secara liar di hutan lereng atas Sindoro juga banyak terjadi. Biasanya penebang liar
ini akan langsung meninggalkan lokasi tanpa kembali untuk memperbaiki lahan
yang telah ia ambil sumberdayanya. Sehingga hutan di Sindoro tidak mengalami
pembaharuan yang imbang sehingga menyebabkan hutan semakin kritis.
Lahan yang digunakan
untuk pertanian juga sering dijumpai tanpa mengindahkan konservasi
yang baik. Petani yang tidak pintar, biasanya hanya mementingkan pribadi. Mereka hanya memperhitungkan
bagaimana ia dapat keuntungan sebanyak-banyaknya dengan merubah semua lahan dimanapun posisinya menjadi lahan pertanian. Seringkali dijumpai lahan yang seharusnya untuk daerah konservasi dibuka, digunakan sebagai pertanian. Selain itu, terasering dibuat sejajar dengan kemiringan lereng. Memang hal ini ditujukan untuk menunjang dalam kemampuan pertumbuhan tanaman secara maksimal tetapi dampak penggerusan tanah permukaan menjadi semakin besar.
|
Gambar.4 Lahan kritis digunakan untuk lahan pertanian (2013) |
Kegiatan-kegiata diatas
jelas tanpa ada konservasi menyebakan Sindoro semakin kritis lingkungan. Diketahui dari sebuah penelitian bahwa, tingkat bahaya erosi di kawasan Gunung Sindoro sudah mencapai dalam status tinggi. Selain itu, dalam beberapa artikel telah ditulis bahwa kawasan Gunung Sindoro tengah mengalami kekritisan lahan dan setiap tahunnya mengalami penambahan luas. Banyak pula diinformasikan bahwa vegetasi yang ada semakin berkurang,
mengakibatkan air hujan tidak dapat meresap dalam tanah secara maksimal sehingga air hujan yang
jatuh dipermukaan menjadi air larian permukaan dan langsung masuk ke sungai. Hal
ini menyebabkan air tanah berkurang, mata air semakin menyusut. Alhasil di
beberapa kecamatan yang ada di lereng Sindoro terutama bagian timur banyak diberitakan mengalami kekeringan di musim kemarau bahkan hingga meminta bantuan air bersih.
Jika Sindoro terus
dibiarkan terdegradasi, dalam waktu mendatang dapat dimungkinkan akan menjadi
lahan yang sangat kering. Anda boleh membayangkan setidaknya sekering
Pegunungan Sewu di Gunungkidul. Atau bahkan menjad lahan tandus yang amat mengerikan.
Lahan tandus dapat terbentuk akibat adanya
proses penelanjangan yang terjadi secara terus menerus tanpa ada proses yang
bersifat membangun. Pelapukan dan perpindahan material dari bagian lereng atas
ke lereng bawah oleh proses erosi dan masswashting menyebabkan lapisan tanah hilang sedikit demi sedikit. Akibatnya Sindoro akan dimulai dengan kehilangan lapisan tanah fertil.
Ketika
tahap ini terjadi, tanpa adanya tindakan konservasi secara intens, proses
denudasi yang ada akan terjadi semakin hebat mengakibatkan suatu waktu Sindoro
benar-benar kehilangan lapisan tanah selanjutnya menjadi seonggok batuan volkan
tandus raksasa. Lambat laun batuan tersebut terlapuk mekanis maupun kimiawi bahkan dapat
mengalami penurunan permukaan lereng positif Sindoro hingga mencapai bentuk
permukaan nyaris datar. Sungguh mengerikan bukan?? Siapa yang mau Sindoro
menjadi tak hijau lagi hingga menjadi lahan yang mengerikan seperti ini?
|
Gambar.5 Salah satu bentuklahan akibat dari penelanjangan. |
Saran untuk menyelamatkan
kondisi Gunung Sindoro saat ini sudah cukup banyak, dan pastinya kesemuanya sangat
bermanfaat. Saran-saran tersebut mungkin telah dicakup pada perencanaan yang ada terutama dalam perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi sangat disayangkan sekali, ketika rencana hebat
tersebut kadang atau mungkin tidak dilakukan realisasi secara maksimal atau
bahkan tidak dilakukan sama sekali. Karena hingga sekarang, jujur saja, dalam mata awam tidak ada
perubahan positif secara kentara. Mungkin ada tapi tidak semua merasakan. Misalnya sudah ada daerah yang melakukan tanaman tumpangsari
antara tembakau dan pohon keras seperti kopi, penanaman suren ataupun sengon di sepanjang jalan atau lahan terbuka. Ini salah satu konservasi yang sangat perlu dicontoh atau bahkan sangat perlu dibiasakan bagi masyarakat lereng Sindoro. Karena hal ini sudah ada di beberapa tempat tapi belum dapat dilakukan secara maksimal untuk dilakukan secra keseluruhan di kawasan lereng Gunung Sindoro. Entah kurangnya komunikasi ataukah tidak adanya ketertarikan bahkan mungkin kurangnya kesadaran masyarakat dan tidak adanya konsistensi pemerintah daerah untuk merealisasikan
secara serius perencanaan atau kegiatan yang telah dibuat tesebut yang menyebabkan menjadi faktor X semakin kritisnya Gunung Sindoro.
DAPUS:
Arsyad, S. Konservasi
Tanah Dan Air, IPB, Bogor 1989
Suara Merdeka,Kebakaran
Hutan Sindoro Meluas, 20 september 2012
Website Kabupaten Temanggung