Secercah Hingar Bingar Jalur Kereta Api Masa Lalu
Berawal kali pertama
mengenal kereta api dari salah satu buku perpustakaan tempat mengajar Bapak
saya. Waktu itu sempat terbesit, “seandainya Temanggung dilintasi kereta api”. Besi
yang panjang, besar, hitam, asap mengepul, topi masinis dan jendela-jendela
kecil yang menempel di setiap gerbong adalah apa yang ada di benak saya tentang
kereta api. Masa kecil juga mengajak saya berandai-andai, jika di Temanggung
ada rel bisa naik kereta api ke rumah nenek di Tasik nun jauh dan
berkelok-kelok itu. Tanpa bosan, tanpa panas desak-desakkan, tanpa pusing mual,
tanpa tikukkan perut akibat pedal rem terinjak berkali-kali seperti halnya
ketika naik bus yang sering membuat saya seperti terserang alergi mabok darat secara
tiba-tiba.
Saya ingat betul,
ketika duduk di bangku SMP sepulang kursus bahasa Inggris di Parakan. Sering kali
dengan teman saya berjalan memutar menuju pertigaan Tugu Putih Galeh dari Pasar
Kayu melewati Pasar Entho. Tepat setelah melewati Pasar Entho pasti saya menengok
pada sebuah bangunan tua di tepi jalan.
“Cerita
Abah itu bekas stasiun kereta api.”
Selorohku
sambil menarik lengan teman saya meghampirinya. Sempat berusaha melongok
ke dalam, mengintip melalui jendela sempit yang terbuka. Nampak sepi dan gelap,
teras belakang dipenuhi dengan barang-barang yang tidak jelas entah milik
siapa. Keyakinan saya waktu itu adalah bangunan ini memberikan petunjuk bahwa
di Temanggung ada kereta api bahkan sejak para blonde-blonde Belanda berjaya di
kota ini.
“Kalo
kita jalan terus mengikuti rel ini, kita akan sampai di jembatan rel yang
sangat panjang di atas kali itu dik.”