.
‘Mengupas segala realita sisi geografis dari lereng Sindoro’

landscape

landscape

Kamis, 12 Juni 2014

SPOORWEG OP TEMANGGOENG (Bagian I)

Secercah Hingar Bingar Jalur Kereta Api Masa Lalu


Berawal kali pertama mengenal kereta api dari salah satu buku perpustakaan tempat mengajar Bapak saya. Waktu itu sempat terbesit, “seandainya Temanggung dilintasi kereta api”. Besi yang panjang, besar, hitam, asap mengepul, topi masinis dan jendela-jendela kecil yang menempel di setiap gerbong adalah apa yang ada di benak saya tentang kereta api. Masa kecil juga mengajak saya berandai-andai, jika di Temanggung ada rel bisa naik kereta api ke rumah nenek di Tasik nun jauh dan berkelok-kelok itu. Tanpa bosan, tanpa panas desak-desakkan, tanpa pusing mual, tanpa tikukkan perut akibat pedal rem terinjak berkali-kali seperti halnya ketika naik bus yang sering membuat saya seperti terserang alergi mabok darat secara tiba-tiba.
Saya ingat betul, ketika duduk di bangku SMP sepulang kursus bahasa Inggris di Parakan. Sering kali dengan teman saya berjalan memutar menuju pertigaan Tugu Putih Galeh dari Pasar Kayu melewati Pasar Entho. Tepat setelah melewati Pasar Entho pasti saya menengok pada sebuah bangunan tua di tepi jalan.
“Cerita Abah itu bekas stasiun kereta api.”
 Selorohku sambil menarik lengan teman saya meghampirinya. Sempat berusaha melongok ke dalam, mengintip melalui jendela sempit yang terbuka. Nampak sepi dan gelap, teras belakang dipenuhi dengan barang-barang yang tidak jelas entah milik siapa. Keyakinan saya waktu itu adalah bangunan ini memberikan petunjuk bahwa di Temanggung ada kereta api bahkan sejak para blonde-blonde Belanda berjaya di kota ini.
“Kalo kita jalan terus mengikuti rel ini, kita akan sampai di jembatan rel yang sangat panjang di atas kali itu dik.”
Celoteh temanku waktu itu. Aku hanya bersungut tak percaya dengan memendam penasaran jauh-jauh.
 

Gambar1. Eks Stasiun Parakan tahun 2014, yang kami lewati setelah pasar Entho menuju pertigaan Tugu Putih Galeh. (dokumentasi pribadi)