Secercah Hingar Bingar Jalur Kereta Api Masa Lalu
Berawal kali pertama
mengenal kereta api dari salah satu buku perpustakaan tempat mengajar Bapak
saya. Waktu itu sempat terbesit, “seandainya Temanggung dilintasi kereta api”. Besi
yang panjang, besar, hitam, asap mengepul, topi masinis dan jendela-jendela
kecil yang menempel di setiap gerbong adalah apa yang ada di benak saya tentang
kereta api. Masa kecil juga mengajak saya berandai-andai, jika di Temanggung
ada rel bisa naik kereta api ke rumah nenek di Tasik nun jauh dan
berkelok-kelok itu. Tanpa bosan, tanpa panas desak-desakkan, tanpa pusing mual,
tanpa tikukkan perut akibat pedal rem terinjak berkali-kali seperti halnya
ketika naik bus yang sering membuat saya seperti terserang alergi mabok darat secara
tiba-tiba.
Saya ingat betul,
ketika duduk di bangku SMP sepulang kursus bahasa Inggris di Parakan. Sering kali
dengan teman saya berjalan memutar menuju pertigaan Tugu Putih Galeh dari Pasar
Kayu melewati Pasar Entho. Tepat setelah melewati Pasar Entho pasti saya menengok
pada sebuah bangunan tua di tepi jalan.
“Cerita
Abah itu bekas stasiun kereta api.”
Selorohku
sambil menarik lengan teman saya meghampirinya. Sempat berusaha melongok
ke dalam, mengintip melalui jendela sempit yang terbuka. Nampak sepi dan gelap,
teras belakang dipenuhi dengan barang-barang yang tidak jelas entah milik
siapa. Keyakinan saya waktu itu adalah bangunan ini memberikan petunjuk bahwa
di Temanggung ada kereta api bahkan sejak para blonde-blonde Belanda berjaya di
kota ini.
“Kalo
kita jalan terus mengikuti rel ini, kita akan sampai di jembatan rel yang
sangat panjang di atas kali itu dik.”
Celoteh temanku waktu itu. Aku hanya
bersungut tak percaya dengan memendam penasaran jauh-jauh.
Gambar1.
Eks Stasiun Parakan tahun 2014, yang kami lewati setelah pasar Entho menuju
pertigaan Tugu Putih Galeh. (dokumentasi pribadi)
Beberapa belas tahun
setelah itu saya memang semakin penasaran dengan kereta api yang sempat romantis
dengan Temanggung. Sejenak menonton kereta api melintas di bawah jembatan
layang Lempuyangan di sore hari dengan kakak saya. Sekedar menyantap dawet
cendol siang bolong bersama kedua temanku di depan Balai Yasa Pengok. Kedua hal
tersebut adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi saya. Seperti ter-addicted, tidak jauh berbeda dengan
orang-orang pengkonsumsi ekstasi, sensasi yang membuat ketagihan dialami saya
setelah pertama kali naik ular besi kelas ekonomi menuju Gunung Gede Pangrango
beberapa tahun silam.
Ketagihan tidak memaksa
saya ingin naik kereta berkali-kali, tetapi penasaran yang besar lebih
mendorong saya untuk melakukan eksploitasi pada jejak perlintasan kereta api di
Temanggung. Nah… sebelum semakin jauh berbicara soal itu, sedikit saya ingin
kilas balik dengan membuka referensi-refernsi tentang sejarah awal mula pembangunan
jalur kereta api, yang tidak lain ternyata cikal bakalnya berada di Semarang.
Anda tentunya
mengetahui jikalau kereta api merupakan moda transportasi yang sangat lekat di
masyarakat Jawa. Sebagai fasilitas publik, kereta api memiliki daya angkut yang
besar dan ramah lingkungan daripada alat traportasi massal lainnya. Saat ini
penyediaan dan pengelolaan sarana dan prasarana kereta api dikembangkan
berdasarkan konsep ‘Negara Sejahtera’ yang menempatkan layanan publik sebagai
tanggung jawab negara dan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya
(Proyek PEP, 2008). Hal ini direalisasikan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3
(amandemen) yakni,
“Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak”.
Sehingga secara langsung pemerintah
memiliki tanggung jawab terhadap pelayanan publik yang sesuai di lingkungan
mayarakat salah satunya penyediaan alat transportasi berupa kereta api.
Ujung tombak sejarah
pembangunan transportasi kereta api di Indonesia telah dilakukan jauh sebelum
Indonesia merdeka, di masa penjajahan Belanda tepatnya tanggal 17 Juni 1864.
Saat itu industri di Eropa berkembang pesat sedangkan dalam tubuh Belanda
sendiri sedang mengalami kebangkrutan ekonomi setelah pasca Perang Diponegoro (1825-1830) (Proyek PEP, 2008). Pemerintah
Belanda-pun akhirnya gencar melakukan sistem tanam paksa (culturestelsel) bagi penduduk pribumi dan mendirikan pabrik-pabrik
gula. Saat itulah kereta api dibangun sebagai alat angkut (lori) tebu dan hasil
perkebunan lainnya.
Pembangunan
jalan kereta api pertama kali dilakukan oleh perusahaan swasta Belanda, Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari
Kemijen menuju Tanggung dibawah naungan Gub. Jend. Hindia Belanda L.A.J Baron
Sloet van de Beele (kereta api.co.id). Kantor perusahaan swasta sebagai pemilik
dan pengoperasi kereta api pada saat itu berada di ujung Jalan Pemuda (Bodjongweg) yang sebelumnya menempati
Stasiun Semarang hingga sekitar tahun 1907. Berawal sebagai Het Hooffdkantoor van de Nederlandsh
Indishce Spoorweg Maatscappij (Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta
Belanda) ini sekarang dikenal dengan Lawang Sewu.
Gambar.2
Saya dengan latar belakang eks Kantor Pusat KA Swasta Belanda kini berganti
nama menjadi Gedung Lawang Sewu yang berada di persimpangan Tugu Muda Semarang.
(dokumentasi pribadi)
Buku Spoorwegstations op Java tulisan Michien
van Ballegoijen de Jong (Amsterdam, 1993 dalam Menelusuri Jejak Perkeretaapian
di Indonesia, NGI 2014 ) tertulis pada tanggal 10 Agustus 1867, untuk pertama
kali resmi dioperasikan angkutan penumpang kereta api dari Stasiun Samarang
menuju Tanggoeng (Tanggung) sepanjang 25 kilometer melintasi Halte Allas-Toewa
(Alas Tua) dan Broemboeng (Brumbung). Pada saat itu jalur rel sederahana digunakan
untuk menghubungkan stasiun penumpang, stasiun kanal, stasiun barang, dan balai
yasa.
Gambar.3
Stasiun Semarang dan lokomotif pada masa Belanda dengan gerbong yang
difungsikan sebagai angkutan barang. (dokumentasi: Heritage KAI)
Selanjutnya perkembangan
pembangunan kereta api semakin pesat akibat kebutuhan angkutan hasil
perkebunan, militer maupun penduduk semakin banyak yang menggunakan. Tahun 1869
pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api Batavia-Bogor, selanjutnya
tahun 1870 jalur umum telah dibangun melewati Semarang-Solo-Yogyakarta. 1878
hingga 1879, perusahaan negara ini membuka jalur Surabaya-Pasuruan-Malang dan Bangil-Malang.
Sampai tahun 1925 pembangunan terus berjalan hingga ke kota-kota besar. Pada masa itu, jaringan rel dibangun
dengan cepat, sehingga tahun 1939,
panjang rel telah mencapai 6.811 km. Pada tahun yang
sama, jaringan kereta api telah
melebar ke Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan (PT KAI dalam Proyek PEP, 2008).
Sejarah perkembangan pembangunan rel kereta api di
Temanggung tidak terlepas dari kebutuhan Belanda dalam kemudahan pengiriman
hasil bumi dari daerah-daerah produsen maupun sebagai angkutan militer saat
itu. Pembangunan rel kerata api di Temanggung diawali dari pembangunan rel KA
jalur Amabarawa-Magelang. Diketahui bahwa pembangunan ini dilakukan setahun
setelah pembangunan jalur kereta api antar Semarang-Tanggung.
Tulisan mengenai pemborong pembangunan rel kereta api ini
berdasarkan dari majalah SINPO terbitan tahun 1919 yang tertera pada artikel online milik Komoenitas Petjinta dan
Pelestari Bangoenan Toea di Magelang pada tanggal 30 Januari 2013. Tulisan
tersebut menerangkan bahwa setelah aktifnya jalur Semarang-Kedungjati dan
stasiun Willem I, NIS merekrut seorang Tiong Hoa yang dipercaya
menjadi kontraktor pembangunan rel KA Ambarawa-Secang-Magelang dan
Ambarawa-Seacang-Parakan. Dialah Ho Tjong An yang lahir di Tungkwa, Kanton,
Tiongkok tahun 1841.
Sejarah menuliskan bahwa Ho Tjong An dikenal dengan seorang
yang sangat menghormati peninggalan leluhur. Dalam pembangunan jalur kereta api-pun
Ho Tjong An tidak melakukan pembangunan secara paksa jika melewati tempat-tempat
yang dianggap sakral bagi penduduk pribumi. Dengan sengaja jalur kereta api ia
belokkan ketika melewati tempat-tempat tersebut. Sehingga jika diamati sepanjang
jalur kereta api Magelang-Ambarawa di beberapa titik memiliki pola kelok-kelok memutar
mengakibatkan jarak tempuh semakin panjang. Operasi jalur Secang–Temanggung
dimulai Januari 1907 diawali dengan jalur Secang-Temanggung. Selanjutnya
disusul jalur Temanggung-Parakan pada Juli 1907.
Masih dari catatan artikel milik Komoenitas
Petjinta dan Pelestari Bangoenan Toea di Magelang, menyebutkan bahwa
berakhirnya masa kejayaan kereta api jalur magelang-ambarawa bermula dari dampak
adanya perubahan pada masa orde baru. Adanya pertumbuhan ekonomi waktu itu mengakibatkan
nusantara mampu melakukan pembenahan infrastruktur fasilitas umum maupun moda
transportasi. Selain dari pembangunan ekonomi, kelumpuhan jalur kereta api
terutama jalur Magelang-Jogja terjadi karena banjir lahar dingin pada tahun
1976 yang mengakibatkan jembatan penghubung jalur kereta api terputus. Lambat
laun, sedikit demi sedikit, jalur kereta api di sekitar Magelang mualai
ditutup. Tahun 1973 jalur kereta api Secang-Parakan ditutup, sedangkan jalur Magelang-Ambarawa
sebelumnya telah ditutup pada tahun 1967.
Nikmah,
S.K., dan Valentina S.W. 2008. ‘Kereta
Apiku Sayang Kereta Apiku Malang’ Proyek Efisiensi Perkeretaapian. INFID,
Jakarta.
Komoenitaskotatoeamagelang. (2013).
Sejarah Perkretaapian Di Magelang & Temanggung. (http://kotatoeamagelang.wordpress.com/2013/01/30/sejarah-perkeretaapian-di-magelang-temanggung/)
Tunggal, N., dan Winarto, H. (2014).
Menelusuri Jejak Stasiun Kereta Api Pertama di Indonesia. National Geographic Indonesia. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/menelusuri-jejak-stasiun-kereta-api-pertama-di-indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar